Filosofi Angka Jawa: Kenapa 25 itu Selawe, 50 Seket dan 60 itu Sewidak?

Asal usul angka jawa – Dalam bahasa Jawa ada beberapa penyimpangan pada pola penamaan bilangannya, yang konon kata sebagian orang itu memiliki falsafah yang sangat dalam sekali jika saja dikait-kaitkan dengan penyebutan usia seseorang.

asal usul angka jawa

Jika kita cermati secara teliti dan seksama, penyimpangan ini memang sangat berbeda jauh dari kelazimannya dengan penyebutan angka-angka dalam bahasa Indonesia atau bahasa lainnya.

Penyimpangan penyebutan angka ini terjadi dari angka belasan sampai dengan angka 60. Benar, hanya sampai angka enam puluh saja!

Hal ini semakin menguatkan dugaan sebagian orang yang dimana penyebutan angka-angka tersebut sangat erat sekali kaitannya dengan usia seorang manusia pada umumnya.

Memang, rata-rata usia seseorang itu hanya sampai sekitaran 60 tahun saja (kebanyakan).

Keunikan Penamaan Angka Jawa Yang Wajib Kamu Tahu!

hitungan angka jawa

Untuk penamaan mulai dari angka 1 sampai 10, itu tidak ada penyimpangan dalam penyebutannya, yakni:

  1. Siji (satu)
  2. Loro (dua)
  3. Telu (tiga)
  4. Papat (empat)
  5. Limo (lima)
  6. Enem (enam)
  7. Pitu (tujuh)
  8. Wolu (delapan)
  9. Songo (sembilan)
  10. Sepoloh (sepuluh).

Namun di dalam bahasa Jawa, penamaan angka 11 itu tidak disebut dengan “Sepuluh siji“, 12 juga bukan “Sepuluh loro“, atau 13 “Sepuluh telu“, dan begitu juga untuk angka 14, 15, 16, 17, 18 serta 19.

Lantas, apa sebutan untuk angka 11 – 19 dalam bahasa Jawa?

Angka 11 ini penyebutannya ialah “Sewelas“, 12 disebut “Rolas“, 13 “Telulas“, dan berlaku juga untuk angka seterusnya, hingga angka 19 yang kemudian disebut dengan “Songolas“.

Mengapa angka dari sebelas sampai sebelas ini penyebutannya diganti dengan welasan? Apakah ada makna atau arti dari istilah tersebut?

Filosofinya, bahwa seorang manusia di rentan usia 11 sampai 19 tahun adalah masa-masa mulai berseminya rasa welas asih (belas kasih), apalagi terhadap lawan jenis.

Pada masa itu juga seseorang sudah memasuki fase remaja (dalam islam: aqil baligh), yang masa pada usianya tersebut mulai muncul istilah jatuh cinta atau kasmaran.

arti kata sewelas, selawe, seket, sewidak

Pada bahasa lain, memang untuk penamaan bilangan angka 11 sampai 19 ini diberi sebutan dengan pola yang berbeda.

Misalnya dalam bahasa Indonesia sebutannya belasan (sebelas, duabelas, tigabelas, dan seterusnya).

Sedangkan dalam bahasa Inggris, 11 juga tidak disebut dengan “Ten one” melainkan “Eleven“, 12 “Twelve“, 13 “Thirteen“.

Nah, menurut hasil penulusaran Ilyasweb, dalam bahasa Inggris angka 13 hingga 19 penamaannya dengan menambahkan kata “teen” dibelakangnya (thirteen, fourteen, fiveteen, dan seterusnya).

Mengapa dalam bahasa Inggris penamaan angka 13 – 19 menggunakan kata teen?

Filosofinya, pada usia 13 hingga 19 tahun adalah waktu dimana seseorang memasuki masa-masa remaja atau bahasa Inggris-nya Teenager’s.

Lagi dan lagi…

Pada bilangan 21 sampai 29 terdapat penamaan lain dalam bahasa Jawa yang juga berbeda dengan pola sebutan pada umumnya.

Kalau dalam bahasa lain, penamaan angka tersebut mengikuti sesuai pola yang sebelumnya (misal dalam bahasa Indonesia: dua puluh satu, dua puluh dua, dan seterusnya sampai dua puluh sembilan).

Akan tetapi berbeda dengan bahasa Jawa, angka 21 itu tidak disebutkan dengan nama “Rongpuluh siji“, 22 bukan “Rongpuluh loro“, 23 juga bukan “Rongpuluh telu“, dan seterusnya.

Namun, 21 itu penamaannya “Selikur“, 22 “Rolikur“, 23 disebut “Telulikur“, dan berlaku seterusnya hingga angka 29 yaitu “Songolikur“, terkecuali angka 25 yang dinamai dengan “Selawe“.

Kenapa satuannya menjadi Likur? Konon, kata likur ini merupakan singkatan dari kata “Lingguh kursi” yang artinya duduk di kursi.

Lha, kenapa begitu?

Falsafah mengatakan, umumnya di usia 21 sampai 29, seorang insan (manusia) mulai mencari atau mendapatkan tempat duduknya masing-masing dalam segi pekerjaan atau profesinya, entah itu menjadi pegawai, bos, seniman, pedagang, penulis, dan lain sebagainya.

arti kata selikur

Yang lebih uniknya, khusus untuk sebutan angka 25 itu tidak dengan limang likur, tetapi disebut selawe. Mengapa?

Menurut sebagian orang Jawa berpendapat kalau Selawe merupakan kependekan dari Seneng-senenge lanang lan wedok (bahasa Indonesia: senang-senangnya lelaki dan wanita).

Usia 25 tahun inilah yang merupakan puncak asmara dari seorang pria dan wanita, yakni dalam urusan pernikahan.

Nah, di usia 25 tahun adalah waktu yang ideal untuk seorang laki-laki untuk menikah alias berumah tangga (dadi manten). Bahkan, sekarang sudah rata-rata menikah pada umur tersebut.

Meskipun tidak semua orang baik itu pria ataupun wanita menikah pada umur 25 tahun, namun kebanyakan dari mereka menikah pada rentan usia 21-29 tahun, lho!

Disaat kedudukan atau pekerjaan sudah berhasil ia dapatkan, maka saat itu juga kemudian seseorang dinyatakan siap untuk menikah, hehe.

Oke lanjut, gengs!

Mulai dari angka 30 hingga 49, penamaan bilangan itu masih dibaca sesuai pola urutannya, seperti telung puluh, telung puluh siji, telung puluh loro dan seterusnya hingga patang puluh songo (49).

Dan terjadi lagi…

Ada penyimpangan bacaan kembali pada angka 50. Semestinya, bilangan yang satu ini dibaca dengan limang puluh atau limo puluh, namun ternyata angka 50 ini lebih populer disebut dengan istilah Seket.

Apa arti yang terkandung dalam istilah “seket”?

Filosofi mengatakan, kata seket ini adalah singkatan dari kalimat Seneng kethonan yang artinya suka memakai kethu atau penutup kepala, baik itu topi, kopiah, bendo, atau topi adat Jawa.

Hal ini tidak lain merupakan pertanda kalau seseorang yang berumur 50 tahun itu sudah memasuki usia lanjut (lansia), dan kethu/penutup kepala yang menjadi simbol atau lampang dari semuanya.

Bukan hanya itu, penutup kepala (kethu) juga merupakan salah satu alat untuk menutupi rambut yang sudah memutih ataupun bagi yang tidak memiliki rambut (botak, *maaf).

Di sisi lain, kopiah juga sebagai salah satu jenis penutup kepala yang identik dengan seseorang yang akan/sedang melakukan ibadah (dalam ajaran agama Islam).

Ya, seperti itulah kehidupan duniawi. Menginjak usia 50 tahun sudah seharusnya setiap jiwa manusia (terutama yang beragama Islam) untuk lebih giat dan khusuk dalam melakukan ibadah.

Jika pada usia likuran kita dituntut untuk bekerja keras demi mencari dan mengumpulkan kekayaan atau uang untuk biaya hidup sehari-hari, maka di usia 50 (lima puluh) sudah saatnya kita memperhatikan urusan ibadah untuk bekal kita nanti di kehidupan langgeng yaitu akhirat.

Jika angka 50 mempunyai sebutan yang lain daripada yang lain, maka bilangan 60 juga memilikinya.

Seharusnya, angka 60 ini disebut dengan enem puluh, namun kenyataannya bilangan tersebut lebih populer dan dikenal dengan sebutan sewidak.

Usut punya usut, sebagian orang berpendapat kalau sewidak ini merupakan singkatan dari kalimat Sejatine wis wayahe tindak.

Apa maksa sewidak (singkatan dari: sejati wis wayahe tindak)?

Sesungguhnya, pada usia 60 tahun adalah waktu dimana seseorang harus siap-siap untuk pergi dan meninggal alam dunia yang bersifat fana ini.

Jika umur kita atau orang tua kita sudah menginjak 60 tahun atau lebih, sebaiknya lebih giatlah dalam beribadah dan membuat amal-amal sholeh.

Sejatinya, nabi dan rosul kita tercinta Baginda Nabi Muhammad SAW berpindah ke rahmatulloh di usianya yang ke-63.

Bersyukurlah jika usia seseorang lebih dari 63 tahun, karena itu merupakan “Bonus” dari yang maha kuasa.

Sahabat Abu Hurairah RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Usia umatku itu berkisar diantara 60 sampai dengan 70 tahun. Dan sangat jarang sekali di antara mereka yang memiliki umur yang melewati angkat itu.” (HR At-Tirmidzi).

Imam Abdurra’uf Al-Munawi memaparkan lebih detail dalam kitab “Faidhul Qadir”  bahwa yang dimaksud  kata “umatku” pada hadits tersebut bukan hanya berlaku pada pemeluk agama Islam (ummatul ijābah) saja, namun juga manusia umum yang hidup di zaman Nabi Muhammad SAW hingga seterusnya (ummatud da’wah).

Filosofi Angka Jawa

Artikel yang berjudul “Kenapa 25 itu Selawe, 50 Seket dan 60 itu Sewidak?” yang saya tulis ini tidak bertujuan untuk menimbulkan pro dan kontra. Saya sengaja menulis ini hanya untuk edukasi yang bertujuan untuk melestarikan serta bangga dengan budaya Jawa. Artikel ini saya tulis sesuai dengan pandangan saya pribadi dan orang-orang sekitar.

Bagaimana, unik sekali bukan suku Jawa itu? Kamu bangga tidak menjadi orang Jawa? Ayo kumpul mas dan mbak-mbak semuanya di kolom komentar, hehe.

Jika ada kesalahan dalam mengartikan atau hal lainnya, mohon untuk memperbaikinya dengan cara memberitahukan saya melalui komentar atau langsung ke email di halaman Contact us.

Semoga bermanfaat.